Sabtu, 23 Oktober 2010

Gerakan CInta Pasar Tradisional

Sebuah Perbincangan yang menarik di Sabtu malam minggu (23/10/2010), dalam siaranya Ita Puspita, penyiar Radio Dakta bersama Abang Abdul Khoir dari BKMB Bhagasasi dan Abang Sofyan Syuhada dari Lembaga kajian Estetika, membahas nasib pasar tradisional yang ternyata sudah terlupakan karena banyaknya pasar Modern.

Ada sebuah tulisan yang cukup menarik yang di tulis oleh Masim "Vavai" Sugianto begini tulisanya :

Sebelum ada pasar-pasar swalayan yang menjamur diberbagai sudut kota, pasar tradisional menjadi satu-satunya pilihan untuk membeli suatu kebutuhan. Pasar-pasar tradisional ini ada pada semua kecamatan di Bekasi-dalam beberapa wilayah bahkan hingga ke tingkat desa / kelurahan. Pada pertengahan tahun 90-an, pasar swalayan mulai muncul, diawali dipusat kota dan kemudian menyebar ketiap wilayah. Meski ada aturan bahwa pasar swalayan tidak boleh mematikan pasar tradisional, persaingan antara pasar swalayan dengan pasar tradisional sulit dihindari. Pada beberapa lokasi, pasar tradisional bahkan harus bertarung langsung dengan pasar swalayan, misalnya pada lokasi Pasar Baru Bekasi dan Pasar Cikarang.




Semrawut dan kumuh adalah kata yang pas untuk menggambarkan suasana pasar tradisional. Kesan ini merata pada hampir semua lokasi. Apakah karena keterbatasan lokasi atau karena tabiat dari para pedagang dan pengunjung pasar tradisional yang menciptakan suasana demikian. Ketika ada renovasi terhadap Pasar Baru Bekasi (di depan Terminal Bekasi) dan Pasar Tambun, harapan adanya perbaikan sempat mengemuka, namun kenyataan berbicara lain. Begitu ditempati, kedua pasar tersebut kembali pada khittahnya, pasar yang semrawut dan kumuh.


Beberapa renovasi pasar malah menuai masalah. Renovasi pada pasar Induk Buah dan Sayur Cibitung membawa konflik sosial ketika pasar dipindahkan sementara. Renovasi pada Pasar Pondok Gede terus berlarut hingga sekarang. Renovasi pada pasar Kranji berlangsung tersendat-sendat. Seringkali para pedagang terabaikan begitu renovasi selesai. Ada begitu banyak kepentingan yang ikut andil pada kekisruhan pengelolaan pasar tradisional.

Beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke Pasar Tambun di Kabupaten Bekasi. Pasar Tambun sudah direnovasi beberapa waktu yang lalu, namun dari foto yang diambil, hasil renovasi hampir tidak memberikan perbaikan kualitas kenyamanan pasar. alan dan lorong dipenuhi pedagang. Istilah “Pasar Senggol” yang dulu hanya ditemui saat Lebaran (saat Lebaran pengunjung pasar membludak sehingga pengunjung terpaksa saling bersenggolan saat berpapasan) kini bisa ditemui pada hari-hari biasa. Lokasi parkir sangat padat. Saya ragu untuk menempatkan kendaraan saya ditempat parkir dan lebih memilih menitipkannya ditempat penitipan di dekat stasiun KA Tambun. Ketika saya masuk kebagian dalam pasar yang menjual sayur mayur, ikan, daging dan bahan mentah lauk pauk lainnya, suasana gelap dan becek langsung menyergap. Bau saluran air pembuangan menambah kekumuhan suasana pasar. Ketika saya keluar dari bagian belakang pasar, sepatu yang saya kenakan dikotori lumpur basah.

Saya tidak bisa membayangkan, andaikan terjadi kebakaran seperti yang terjadi pada beberapa pasar di kota lain (Surabaya, Bandung), apakah kerugian dapat ditekan seminimal mungkin ?
Dalam kondisi demikian, pasar tradisional cukup beruntung memiliki pengunjung yang setia. Harga murah yang masih dapat ditawar, suasana non formal, canda keseharian antara pengunjung dengan penjual serta kelengkapan isi suatu pasar menjadi nilai lebih yang tetap menjaga frekwensi kedatangan pengunjung. Hal ini bisa menjadi jawaban mengapa banyaknya pasar swalayan masih menyisakan ruang untuk pasar tradisional.
Meski masih dapat bertahan dengan keunggulan alaminya, pasar tradisional sudah harus berbenah dan memperbaiki diri. Pengunjung semakin lama semakin sadar pada kenyamanan. Semakin sadar pada isu-isu kesehatan. Ketika isu formalin pada tahu, bakso dan ikan laut beredar, penjualan di pasar tradisional merosot tajam. Meski pasar swalayan juga mengalami hal yang sama, pasar swalayan masih memiliki produk lain yang bisa menutup kerugian pada produk yang diterpa isu formalin, sedangkan para penjual di pasar tradisional terpaksa banting stir beralih pada produk lain.

Tanpa kepedulian dari Pemkot dan Pemkab Bekasi, kekumuhan dan kesemrawutan akan membawa pasar tradisional pada jurang kehancuran.

Jumat, 01 Oktober 2010

Contact

Ita Puspita

Twitter      :  @Itapuspita
Facebook  :  Puspitacake@yahoo.co.id

Ita Puspita

Ita Puspita adalah Penyiar Radio Dakta 107 fm  yang muncul pada program reguler dan Program Kabar Akhir prkan serta Gai sejarah dan Budaya Bekasi.

Ita Puspita lahir di Yogyakarta pada tanggal 20 July 1987
dengan nama lengkap Ita Puspitasari. Di sekolah SD Karang Sentul 2 Purbalingga, SMPN 3 Purbalingga  dan SMUN 1 Tambun Selatan, Bekasi. Dia selesai di tingkat D3 Management Informatika Bina Sarana Informatika, Bekasi.

Bagi Ita Puspita Siaran adalah hal yang menyenangkan, tapi tidak boleh disepelekan karena Siaran adalah jiwa.
Karir dalam perjalanan cukup banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun menurutnya semua tantangan menjadi pemicu untuk membuktikan bahwa ia mampu mengatasi semua masalah yang ada. sikap Pantang menyerah dari semua tantangan yang dihadapi tercermin dalam moto hidupnya yang "Jangan pernah menyerah untuk kondisi ... hidup dengan penuh."